Miskonsepsi Penggunaan Antibiotik. Salah Pakai Antibiotik? Waspada Resisten!
sick condition. pic source: google |
Sakit adalah
pandangan atau persepsi seseorang bila merasa kesehatannya terganggu. Respons
setiap masyarakat terhadap kondisi sakit pastilah melakukan atau mencari
pengobatan untuk penyakitnya. Perilaku pencarian masyarakat terhadap pengobatan
ini sangat bervariasi. Istilah yang umum kita kenali adalah swamedikasi yaitu
perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas
atau fasilitas kesehatan. Dalam Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, secara
sederhana swamedikasi adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala sakit atau
penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Namun bukan berarti
asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai dengan
penyakitnya. Tetapi, tak sedikit masyarakat yang salah paham dengan konsep swamedikasi
ini dengan mengaitkan penggunaan antibiotik dalam mengobati penyakit ringan
atau untuk mengobati penyakit yang bukan disebabkan oleh bakteri.
Kata antibiotik berasal dari bahasa
Yunani yaitu -anti (melawan) dan -biotikos (cocok untuk kehidupan). Istilah ini
diperkenalkan oleh Selman pada tahun 1942 untuk menggambarkan semua senyawa
kimia yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain. Namun, istilah antibiotik kemudian juga mencakup semua
senyawa yang dibuat secara semisintetik ataupun secara sintetik yang bersumber
dari mikroorganisme yang dalam jumlah kecil dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain dan memiliki sifat toksisitas selektif. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa antibiotik adalah obat yang digunakan untuk
mengatasi dan mencegah infeksi bakteri. Antibiotik bekerja dengan cara membunuh
dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh.
Tak jarang masyarakat menganggap
antibiotik dapat dipakai untuk semua penyakit. Sebagai contohnya adalah
penggunaan antibiotik untuk flu. Virus flu tidak mempan antibiotik. Bila ada
komplikasi infeksi dengan kuman saja, antibiotik dibutuhkan. Hal ini disebabkan
oleh pemahaman bahwa minum antibiotik akan cepat sembuh. Padahal, hal tersebut
bergantung pada jenis penyakit dan ketepatan penggunaannya.
Kaitan Erat Antibiotik: Resistensi
pic source: google |
Ketika
berbicara tentang antibiotik, istilah yang paling umum didengar adalah
resistensi. Infeksi bakteri biasanya diobati dengan antibiotik. Namun, seperti sifat
makhluk hidup biasanya bakteri lama-lama bisa beradaptasi dengan obat-obatan
dan menjadi makin sulit untuk dibunuh. Ini yang disebut dengan resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Bakteri bisa menjadi resisten terhadap antibiotik
jika gen bakteri berubah atau bakteri mendapat gen yang resisten terhadap obat
dari bakteri lain.
Resistensi antibiotik disebabkan
oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional atau berlebihan dalam jangka
waktu yang lama. Ketika banyak resistensi terhadap antibiotik maka akan
berpengaruh pada penentuan penggunaan antibiotik jika nantinya dibutuhkan,
dimana pasti akan menggunakan golongan antibiotik yang lebih tinggi yang tentu
memiliki efek samping semakin besar.
Angka kematian akibat Resistensi
Antimikroba sampai tahun 2014 sekitar 700.000 orang per tahun. Pada tahun 2050
diperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba lebih besar dibanding
kematian akibat kanker. Estimasinya penduduk yang resisten mencapai 10 juta
jiwa/tahun dan total GDP yang hilang sekitar 100 triliun dolar.
Sebagai contoh adalah kasus MDR-TB
atau multidrugs resistance tuberculosis. Dikutip dari laman resmi WHO, MDR-TB
adalah kondisi bakteri penyebab tuberkulosis bisa menjadi resisten terhadap
obat-obatan antibiotik yang digunakan. Dengan adanya hal tersebut, resistensi
antibiotik dirasa menjadi masalah cukup serius, sehingga harus ada tindakan
pencegahan yang dilakukan.
Peran Tenaga Kesehatan dalam Penggunaan Antibiotik Rasional
pic source: google |
Tenaga kefarmasian khususnya
apoteker berwenang sebagai penanggung jawab fasilitas distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi. Hal ini tertuang pada pasal 14 ayat (1) dalam PP RI
No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 'Setiap fasilitas distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker
sebagai penanggung jawab'. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang berwenang
dalam penyerahan obat, perlu mengontrol dengan baik penyerahan antibiotik di
apotek maupun klinik dan rumah sakit.
Masyarakat juga agar tidak
menggunakan antibiotik tanpa diagnosa dokter terlebih dahulu. Hendaknya
apoteker dapat berkoordinasi dengan tenaga medis lainnya seperti dokter, dan
menjadi mitra dalam penentuan pemilihan obat sesuai hasil diagnosa. Sekaligus
apoteker dapat melakukan pemantauan dan evaluasi dari penggunaan antibiotik di
fasilitas kesehatan dan masyarakat.
Karena apoteker merupakan profesi
yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan dan kesembuhan pasien, maka
apoteker harus mengikuti kode etik yang ada. Jangan sampai ada apoteker yang
menyerahkan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter.
Lalu, Bagaimanakah Penanganan atas Miskonsepsi Penggunaan Antibiotik?
pic source: google |
Dalam hal tersebut, perlu adanya
peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan baik dari sisi tenaga medis
maupun pasien. Dari sisi tenaga medis, perlu mengedukasi pasien tentang
penggunaan antibiotik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas
kesehatannya. Edukasi ini, misalnya dalam hal penggunaan antibiotik sesuai
dengan anjuran dan harus habis dalam jangka waktu tertentu.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia telah melakukan upaya dalam program pengendalian antibiotik dengan
menggunakan strategi GeMa CerMat (Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat).
Materi edukasi yang disampaikan ke masyarakat berupa 5T: Tidak membeli
antibiotik sendiri (tanpa resep dokter), Tidak menggunakan antibiotik untuk
pengobatan selain infeksi bakteri, Tidak menyimpan antibiotik di rumah, Tidak
memberi antibiotik sisa kepada orang lain, dan Tanyakan kepada apoteker
informasi obat antibiotik.
Sebagai tenaga kefarmasian, kita
harus berkontribusi dalam mengurangi miskonsepsi penggunaan antibiotik ini.
Sederhananya, kita dapat melakukan PIO (Pemberian Informasi Obat) yang tepat
berkaitan dengan antibiotik. Tindakan lain yang dapat kita lakukan adalah
dengan memberikan edukasi seputar antibiotik kepada masyarakat, khususnya
generasi muda, mengapa demikian? Karena dengan memberikan informasi dan edukasi
terhadap generasi muda itu dirasa dapat memberikan pengaruh yang signifikan
dalam mengurangi miskonsepsi penggunaan antibiotik mengingat keefektifan
penyampaian dan penerimaan informasi yang lebih tinggi.
Tindakan dan harapan lainnya adalah
peresepan antibiotik di kalangan klinisi semakin bijak lagi. Seperti yang sudah
disebutkan pada poin sebelumnya, apoteker harus berkoordinasi dengan dokter
untuk peresepan obat khususnya antibiotik agar rasional: tepat guna dan tepat
dosis.
Mari berantas
miskonsepsi penggunaan antibiotik di Indonesia!
Comments
Post a Comment